Para praktisi ilmu kebumian
menegaskan bahwa penyebab
utama hilangnya sejumlah
wisatawan di Pantai Parangtritis,
Bantul, adalah akibat terseret rip
current. Dengan kecepatan
mencapai 80 kilometer per jam,
arus balik itu tidak hanya kuat,
tetapi juga mematikan.
Kepala Laboratorium Geospasial
Parangtritis I Nyoman
Sukmantalya mengatakan, sampai
sekarang informasi mengenai rip
current amat minim. Akibatnya,
masyarakat masih sering
mengaitkan peristiwa hilangnya
korban di pantai selatan DI
Yogyakarta dengan hal-hal yang
berbau mistis. Padahal, ada
penjelasan ilmiah di balik musibah
tersebut.
Arus balik merupakan aliran air
gelombang datang yang
membentur pantai dan kembali
lagi ke laut. Arus itu bisa menjadi
amat kuat karena biasanya
merupakan akumulasi dari
pertemuan dua atau lebih
gelombang datang.
“Bisa dibayangkan kekuatan seret
arus balik beberapa kali lebih kuat
dari terpaan ombak datang.
Wisatawan yang tidak waspada
dapat dengan mudah hanyut,”
demikian papar Nyoman, Selasa
(3/2) di Yogyakarta.
Celakanya, arus balik terjadi begitu
cepat, bahkan dalam hitungan
detik. Arus itu juga bukan hanya
berlangsung di satu tempat,
melainkan berganti-ganti lokasi
sesuai dengan arah datangnya
gelombang yang juga
menyesuaikan dengan arah
embusan angin dari laut menuju
darat.
Nyoman melanjutkan, korban
mudah terseret arus balik karena
berada terlalu jauh dari bibir pantai.
Ketika korban diterjang arus balik,
posisinya akan mudah labil karena
kakinya tidak memijak pantai
dengan kuat.
“Karena terseret tiba-tiba dan tidak
bisa berpegangan pada apa pun,
korban menjadi mudah panik, dan
tenggelam karena kelelahan,”
lanjutnya.
Terpisah, Staf Ahli Pusat Studi
Bencana Universitas Gadjah Mada,
Djati Mardianto, melanjutkan,
apabila korban tetap tenang saat
terseret arus, besar kemungkinan
baginya untuk kembali ke
permukaan. “Karena arus berputar
di dasar laut sehingga materi di
bawah bisa naik lagi,” ujar Djati.
Setelah mengapung, korban bisa
berenang ke tepi laut, atau
membiarkan diri terempas ke
pantai oleh gelombang datang lain.
Setidak-tidaknya, korban memiliki
kesempatan untuk melambaikan
tangan atau berteriak minta tolong.
Bagaimana dengan korban hilang?
Djati mengatakan, hal itu dapat
terjadi apabila korban terlalu kuat
melawan arus saat berada di
dalam air sehingga urung
mengapung. Sebaliknya, korban
akan semakin jauh terseret arus
bawah laut dan bisa tersangkut
karang atau masuk ke dalam
patahan yang berjarak sekitar satu
kilometer dari bibir pantai. Di dasar
patahan yang kedalamannya
mencapai ratusan meter itu,
korban akan semakin sulit
bergerak karena ia bercampur
dengan aneka materi padat yang
terkandung dalam arus.
Korban akan diperlakukan sama
seperti material, yakni diendapkan.
Korban baru bisa kembali
terangkat ke permukaan jika ada
arus lain yang mengangkat
sedimen dari dasar laut. Namun, ia
mengatakan, biasanya hal itu
butuh waktu lama.
Meski sulit, diperkirakan
kedatangannya, arus balik
sebenarnya bisa dikenali. Menurut
Nyoman, permukaan arus balik
terlihat lebih tenang daripada
gelombang datang yang berbuih.
Selain itu, arus balik biasa terjadi di
ujung-ujung cekungan pantai dan
warnanya keruh karena
membawa banyak materi padat
dari pantai.
Masalahnya, banyak wisatawan
justru senang bermain di pantai
yang tenang karena dianggap lebih
aman. “Padahal, lokasi tersebut
amat berbahaya,” kata Nyoman.
Sejauh ini, cara terbaik untuk
mengurangi risiko bencana
terseret arus di pantai adalah
dengan tidak bersikap nekat
berenang ke tengah laut.
Pengunjung harus benar-benar
mematuhi rambu larangan
berenang yang dipasang tim
search and rescue (SAR) di
sepanjang pantai.
Selain itu, kondisi cuaca juga harus
dipertimbangkan. Gelombang laut
akan membesar di musim
penghujan karena terpengaruh
angin barat. Berenang di laut pada
malam hari pun sebisa mungkin
dihindari karena arus balik akan
menguat akibat terpengaruh
pasang.
Menurut kedua pakar
geomorfologi pesisir itu, tidak ada
pantai di DIY yang aman. Semua
memiliki potensi arus balik yang
kuat. Bahkan, di sejumlah pantai di
Gunung Kidul, arus balik kian
diperkuat oleh buangan air sungai
bawah tanah.
Pemerintah daerah juga bisa
mempelajari pola-pola arus balik
dengan melakukan pengamatan
rutin sepanjang tahun
menggunakan citra satelit
beresolusi tinggi, seperti citra
Quickbird dan IKONOS. Kedua
satelit itu bisa merekam dengan
jelas benda yang berukuran kecil
hingga ukuran satu meter.
“Sejauh ini, penelitian ke arah sana
baru sebatas pada skripsi
mahasiswa. Belum ada penelitian
yang mendalam dan
menghasilkan rekomendasi
kebijakan,” papar Djati.
Pemerintah daerah pun sebaiknya
memberikan pemahaman yang
benar mengenai penyebab
bencana laut kepada warga di
sekitar pantai. Informasi tersebut
dapat diteruskan kepada
wisatawan guna meningkatkan
kewaspadaan mereka.
Bagi pengunjung, informasi
berupa papan larangan berenang
dan imbauan petugas dianggap
jelas belum cukup. Kenapa tak
dibagikan leaflet kecil begitu
pengunjung mau masuk pantai.
Leaflet itu berisi penjelasan singkat,
harus bagaimana dan di mana jika
ingin mencebur ke laut.
Nyoman mengatakan, ketinggian
air sepaha orang dewasa sudah
cukup bagi arus balik untuk
menyeret orang ke tengah laut.
Paling aman, usahakan air hanya
sampai ketinggian mata kaki.
Kita mungkin dapat melihat suatu
arus balik dari suatu tempat yang
lebih tinggi di pantai, atau dapat
juga bertanya dengan penjaga
pantai yang bertugas atau dengan
penduduk setempat yang tahu di
lokasi mana terdapat rip current.
Berdasarkan pengamatan, sifat-
sifat Rip Current dapat diketahui
dengan :
1. Melihat adanya perbedaan
tinggi gelombang antara kiri-
kanan dan antaranya. Tinggi
gelombang pada bagian kiri
dan kanan lebih besar dari
antaranya.
2. Meletakkan benda yang
dapat terapung. Bila benda
tersebut terseret menuju off
shore maka pada tempat
tersebut terdapat Rip Current.
3. Melihat kekeruhan air yang
terjadi, dimana air pada
daerah surf zone tercampur
dengan air dari darat. Bila
terlihat air yang keruh
menuju off shore, maka
tempat tersebut terdapat Rip
Current. Kejadian ini dapat
dilihat dengan jelas dari
tempat yang lebih tinggi
Tips/Cara/Usaha yang harus
dilakukan bila terseret rip
current, adalah sebagai
berikut:
1. Jika terperangkap dalam arus
seret ke tengah laut, jangan
mencoba untuk berenang
melawan arus (ke tepi pantai),
2. tenanglah untuk sementara
mengikuti arus. Secepat arus seret
berada di luar penghalang, atau
kecepatan arus melambat dan kita
merasa sedikit bebas dari
pergerakan air yang cepat,
3. berenanglah ke area di sebelah
kiri/kanan kita dan baru kemudian
berenang kembali ke arah pantai
(atau mengikuti gelombang
menuju pantai). Tentu saja kita
harus tetap menjaga untuk tetap
berada di luar arus seret tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar